Hyouka Volume 5: Perkiraan Jarak Antara Dua Insan; Chapter 1-3

Volume 5 - Perkiraan Jarak Antara Dua Insan – It walks by past
·       Chapter 1:  Meja Pendaftaran Ada di Sini
3.    Sekarang: 4.1km; Masih 15,9km Lagi
               
Di penghujung hari, teoriku mengenai makanan beracun sebagian besar memang benar, tapi hipotesis Chitanda tentang mereka yang tidak mendapatkan tumbuhan gunung tepat waktu sepertinya juga cukup benar.

Klub memasak telah gagal menyiapkan tumbuh-tumbuhan tersebut. Sepertinya pada awalnya mereka ingin membuat sebuah masakan sup miso dari tanaman pakis, tapi ketika beberapa anggota klub mencicipinya saat waktu makan siang, mereka mengeluh kalau perut mereka menjadi sakit.

Jika mereka benar-benar berniat untuk menyembunyikan kesalahan mereka, maka kemungkinan besar kalau anggota mereka yang mengeluh sakit tidak minta pertolongan ke UKS. Saat aku mengatakan ini, Chitanda langsung bergegas berlari. Aku rasa dia tidak menganggap enteng tentang makanan beracun dari tumbuhan gunung.

“Mereka mungkin butuh pertolongan,” dia mengatakan ini bersamaan dengan tindakannya, tapi aku tidak begitu yakin untuk meninggalkan meja menjadi kosong saat Festival Perekrutan Anggota Baru. Oohinata yang bingung menyahuti, “Oh, kalau begitu maka aku juga akan memberi pertolongan,” lalu mulai mengejar Chitanda. Aku mendengar apa yang setelah itu terjadi dari Oohinata.

“Chitanda-senpai tanpa ragu-ragu masuk ke Ruang Latihan Memasak. Awalnya para anggota Klub Memasak pura-pura bingung, tapi saat mereka tahu kalau dia sudah mengetahui semua yang telah terjadi, mereka menyerahkan para anggota yang perutnya sakit. Sepertinya dia mengenal beberapa orang di klub, jadi semua itu berjalan lebih cepat dari yang diperkirakan.”

“Chitanda punya banyak kenalan di mana saja. Jadi, bagaimana keadaan para anggota yang terkena racun itu?”

“Tidak begitu baik. Sepertinya mereka sangat ingin segera pulang ke rumah dan beristirahat. Tapi mereka tahu kalau mereka tidak bisa melakukannya. Saat dia melihat mereka lagi, Chitanda-senpai langsung bergegas keluar dari ruang kelas dan membawa beberapa siswa yang sepertinya bercita-cita menjadi dokter. Rupanya keluarganya bekerja di rumah sakit, dan dia terlihat keren, meski sepertinya dia sangat jengkel akan situasi ini.”

Sangat mirip dengan Irisu-senpai. Oohinata bilang kalau dia terlihat jengkel, tapi mungkin dia sama seperti bagaimana dia biasanya.

“Dia mengobati mereka menggunakan air garam lalu memberitahu ke yang lain untuk membawa para siswa tersebut ke tempatnya jika kondisi mereka semakin memburuk. Bagaimanapun juga, membawa mereka ke rumah sakit hanya akan membuat situasi rumit.”

“Aku rasa jika mereka teracuni oleh makanan, maka dokter akan melaporkannya ke UKS sekolah.”

“Aku ragu jika mereka bakal melakukannya. Bukankah ada kerahasiaan antara dokter dengan pasien atau sesuatu seperti itu?”

“Aku tidak tahu.”

“Yang terpenting, untungnya para anggota tersebut pulih kembali.”

Itu melegakan.

Klub Memasak berhasil menyembunyikan kelalaian mereka. Berdasarkan penjelasan Oohinata, Chitanda mengajari seluruh anggota Klub Memasak bagaimana cara yang baik untuk menangani tumbuhan gunung sebagai konsekuensi tindakan mereka yang tidak bertanggung jawab. Aku yakin kalau saat ini tidak akan ada yang datang ke meja Klub Klasik, jadi aku mengeluarkan bukuku dan melanjutkan membaca.

Akan tetapi aku hanya berhasil menyelesaikan satu paragraf, karena Oohinata mulai bicara lagi, menunjukkan giginya dalam senyum ringan yang mengingatkanku pada senyumannya yang dia tunjukkan tadi saat pertama kali aku melihatnya.

“Aku akan bergabung dengan klub ini. Namanya apa tadi?”

Chitanda saat itu bertanya.

“Apa kau yakin? Kami bahkan sama sekali belum menjelaskan apa yang kami lakukan.”

“Aku yakin.”

Dia melihatku dan Chitanda lalu tersenyum sekali lagi.

“Di sini terasa ramah. Melihat orang-orang menikmati waktu bersama teman-temannya merupakan hal yang paling ku suka di dunia ini.”

Aku tidak ingat aku menjawabnya apa.


Lereng yang menanjak mulai menjadi terjal, banyak siswa yang melewatiku sambil berusaha menghirup oksigen yang terasa semakin sulit. Pada awalnya aku tidak menginginkannya, tapi tanpa aku sadari, perlahan irama langkahku menjadi semakin pelan. Aku rasa aku terlalu terbalut dalam pikiran sehingga memudarkan  perhatianku kepada kecepatan.

Seorang anak laki-laki yang pernah sekelas denganku tiba-tiba melewatiku. Jika aku mengingatnya dengan benar, tahun ini dia berada di kelas 2-C. Kelas C mulai mengejar. Sampai sekarang aku bahkan belum menyadarinya, kalau mungkin mereka lebih dekat dibanding yang aku perkirakan.

Ketika aku melihat sekeliling untuk mencari Ibara, aku bisa melihat sebuah barisan panjang para siswa yang berlari di jalanan lereng, mengekor layaknya sebuah pawai semut yang bekerja keras. Jika aku terus berjalan dengan pelan seperti belalang, mungkin aku akan berakhir menjadi anjing yang mati saat barisan tersebut menyalipku. [Referensi dari fabel “The Ant and the Grasshopper.” Ceritanya tentang seekor belalang yang mati karena terlalu sibuk bersenang-senang, bukannya mengumpulkan persiapan untuk musim dingin seperti yang si semut lakukan.] Ketika aku menghadapkan kepalaku ke depan, ujung bukitnya langsung terlihat. Akan tetapi, sepertinya aku akan terus berjalan. Aku tidak bilang kalau aku tidak memperkirakan kalau akan seperti ini, tapi usahaku untuk mengukur jarak antara Ibara dan diriku jelas-jelas gagal.

Untuk menebus kegagalan ini, aku berlari dengan cepat di bidang kecil pada lereng yang landai, yang tersisa sebelum sampai ke puncak. Penglihatanku akhirnya terbuka luas, aku merasakan sedikit udara dingin yang bisa muncul dari imajinasiku. Aku pikir lerengnya akan langsung menurun saat aku sudah mencapai puncak, tapi sepertinya aku salah ingat. Jalannya berlanjut sepanjang 100 meter di ketinggian yang sama. Ada sebuah miniatur kuil di samping jalan. Aku tidak tahu dewa apa yang diabadikan di dalamnya, tapi sebenarnya di dalam hatiku, aku merasa lebih baik jika berdoa. Bagaimanapun juga, banyak pertanyaan tak terjawab yang masih terpampang di depanku. Kebaikan dalam beragamaku biasanya datang di saat situasi-situasi sulit seperti ini.

Kedua sisi jalan melebar, aku tahu dari warna pada dinding-dinding mereka yang tersebar pada beberapa rumah tua. Ada sebuah vending machine baru di antara rumah-rumah tua tersebut sehinga terlihat seperti salah tempat.

Aku berjalan pelan pada jalan yang datar. Karena itu tempat berteduh tepat setelah bukit yang sangat melelahkan, siswa lainnya juga banyak yang berjalan. Seorang siswa bertubuh besar datang seakan-akan dia terus berlari sepanjang jalan dari bawah bukit, dan dia mengambil nafas dengan terengah-engah sambil berdiri, lalu membungkuk sambil memegangi lututnya. Aku penasaran apakah dia telah memilih untuk menggunakan seluruh tenaganya pada satu bukit ini atau dia berencana untuk menjaga langkahnya tetap stabil sampai selesai.

Aku tidak punya bukti, tapi aku menentukan untuk berpendapat kalau Ibara tepat di belakangku. Jika dia akan melewatiku sekarang, melakukannya pada jalan setapak akan lebih bagus. Mencoba untuk berbicara dengan seseorang ketika mereka sedang melewatimu di lereng yang menurun sepertinya terasa agak sulit. Supaya itu tidak terjadi, aku mulai bergerak dengan sangat pelan.

Ibara, huh?

Ketika Ibara pertama mendengar kalau Oohinata bergabung, aku penasaran bagaimana reaksinya.

Aku ingat reaksi Satoshi. Dia merayakan dengan berlebihan karena sebenarnya baru satu anggota yang bergabung. “Memikirkan Houtarou bisa merekrut seseorang… Jujur saja, aku tidak bisa membayangkannya. Ini benar-benar sebuah keajaiban.” …dan berbagai hal seperti itu. Lalu Oohinata mulai bertanya bermacam-macam pertanyaan tentang SMP Kaburaya, seperti apakah ada yang berubah atau apakah ada siswa yang pindah.

Di lain sisi, aku tidak punya merasa kalau Ibara merasakan hal yang sama. Sebelum aku tersadar, kalau mereka sudah menjadi teman akrab. Saat Ibara pertama kali bertemu dengan Chitanda, mereka terikat dengan cepat. Mungkin itu karena, meskipun dia terlihat seperti orang yang kasar terhadap orang lain, dia sama sekali tidak malu. Meskipun Oohinata jelas-jelas lebih tinggi, rasanya aneh karena betapa mudahnya untuk tahu siapa yang lebih tua ketika mereka berdua sedang berbicara.

Kapan itu terjadi, aku penasaran.

“Hina-chan, kau terlihat sangat atletis. Maksudku kau bahkan berkulit coklat.”

Ketika Ibara mengatakan ini, Oohinata sedikit malu.

“Itu karena aku bermain ski, tapi dari sananya aku memang mempunyai kulit yang gelap.”

“Oh, jadi kau bermain ski, ya? Di dekat sini?”

“Kadang-kadang, tapi tahun ini aku bermain di Iwate.”

“Tidak bermain papan salju?”

“Tidak, aku hanya bermain ski. Apa kau bermain papan salju?”

“Aku juga tidak bisa melakukannya.”

Aku ingat kalau itu percakapan yang menggelikan.

Di ingatanku, aku bisa melihat mereka berdua tersenyum gembira.


Aku selalu melihat ke belakang saat aku melanjutkan berjalan.

Prediksiku benar. Saat aku di tengah perjalanan pada jalan yang datar, wajah Ibara muncul dari belakang pada lereng yang menanjak.

Lengannya menempel dengan pinggangnya, dan dia menghadap ke kakinya. Mungkin karena kepalanya menunduk, jadi aku tidak bisa melihat matanya dengan jelas. Saat dia mungkin sedang berlari di lereng dengan serius, aku bisa melihat dia terengah-engah. Dia melangkah kecil, tapi saat jalannya tidak mendatar lagi, tangannya mulai berayun dengan lebih bebas. Sampai dia berlari dengan irama yang tetap.

Aku juga mengangkat tanganku dan segera berlari ke arahnya. Aku menyesuaikan langkahku dengan Ibara dan bergerak ke sampingnya dengan jarak sekitar lebar satu orang di antara kami.

“Ibara.”

Ketika aku memanggilnya, hanya matanya yang bergerak untuk melihatku.

Tentu saja, dia tetap diam dan mulai melanjutkan langkahnya lagi. Aku tahu ini akan terjadi, jadi aku tanpa ragu langsung menuju ke permasalahan utama.

“Aku hanya perlu bertanya satu hal, Ibara. Hanya satu hal. Ini tentang Oohinata.”

Bahkan, Ibara tidak menggerakkan wajahnya sama sekali, akan tetapi aku bisa mendengar sebuah kata saat dia menghembuskan nafas.

“Apa.”

Aku sudah menentukan akan apa yang akan aku tanyakan.

“Kemarin, kau berkata kalau kau melewati Oohinata di ruang masuk. Kau mendengar dia akan keluar dari Klub Klasik.”

Ibara mengangguk kecil.

“Saat itu, Oohinata mengatakan sesuatu tentang Chitanda. Satoshi memberitahuku tentang itu; dia bilang kalau Oohinata menyebut Chitanda ‘seperti seorang Buddha.’ Apakah benar itu yang dia katakan?”

Pertama, Ibara menghadapkan wajahnya ke arahku. Lalu, aku merasa seperti ada sebuah tanda kebingungan di ekspresinya yang terluka.

Dia segera mengembalikkan pandangannya ke kakinya dan berlari. Seakan-akan untuk menstabilkan nafasnya kembali di bidang yang datar, dia mengambil nafas dalam-dalam.

Merasa kalau berdekatan dengannya hanya akan menjengkelkannya, jadi aku sengaja agak jauh darinya sembari kami berdua terus berlari, akan tetapi, tiba-tiba dia mendekat. Di beberapa meter kemudian kami benar-benar berlari berdampingan, dia mengatakan sebuah kalimat yang tidak bisa disela.

Langkahku menjadi pelan. Ibara tetap dalam irama langkahnya dan akhirnya menghilang saat dia turun dari lereng.

Perkataannya masih terngiang di telingaku. Ibara tadi mengatakan ini.

“Itu keliru. Apa yang Hina-chan katakan adalah, “Chitanda benar-benar terlihat seperti seorang bodhisattva, ya.”
[Seorang bodhisattva adalah sebuah istilah agama Buda yang merujuk kepada seseorang yang telah mendapatkan pencerahan lewat keinginannya untuk membantu orang lain. Mirip dengan seorang Budha, seorang bodhisattva biasanya dibedakan oleh keputusannya (dan pengorbanan) untuk keluar dari surga dan kembali ke alam duniawi untuk membantu yang lain supaya juga mendapatkan pencerahan.]

2 Comments

Previous Post Next Post